Sunday 12 May 2013


PENDEKATAN KONTEKSTUAL
Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) disingkat menjadi CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka (Syaiful Sagala, 2008: 87). CTL adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka (Wina Sanjaya, 2008: 255) Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa CTL adalah pembelajaran yang dimulai dengan mengambil (mensimulasikan, menceritakan) kejadian pada dunia nyata kemudian diangkat ke dalam konsep matematika yang dibahas.
Sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan itu, sistem tersebut meliputi delapan komponen berikut: (1) membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, (2) melakukan pekerjaan yang berarti, (3) melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, (4) bekerja sama, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6) membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, (7) mencapai standar yang tinggi, (8) menggunaan penilaian autentik (Johnson, E. B., 2009: 67).

Menurut Nurhadi (2003) dalam Syaiful Sagala (2008: 88), Pendekatan Konstekstual melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran, yaitu konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflecting), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment).
Konstruktivisme merupakan landasan filosofis dari CTL, yaitu bahwa ilmu pengetahuan itu pada hakekatnya dibangun tahap demi tahap, sedikit demi sedikit, melalui suatu proses.  Dalam pandangan ini strategi yang diperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Karena itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan cara: (1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa; (2) memberi kesempatan pada siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri; dan (3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
Menemukan adalah proses penting dalam pembelajaran agar retensinya kuat dan muncul kepuasan tersendiri bagi siswa dibandingkan dengan melalui diwariskan. Dalam pengertian menemukan sebagai inquiri, prinsip ini mempunyai seperangkat siklus, yaitu: observasi, bertanya, mengajukan, dugaan, mengumpulkan data, dan menyimpulkan. Dengan inquiri, siswa dalam kelas dapat belajar untuk berbicara dan bersikap secara matematika, sebagaimana yang ditulis Richard (1991) dalam Goos, Merrilyn (2004):
by inquiry mathematics, student learn to speak and act mathematically by participating in mathematical discussion and solving new or unfamiliar problem.
Bertanya merupakan jiwa dalam pembelajaran. Bertanya adalah cerminan dalam kondisi berpikir. Dalam bentuk formalnya sebagai salah satu kegiatan dalam mengawali, menguatkan, dan menyimpulkan sebuah konsep. Bentuknya bisa dilakukan guru langsung kepada siswa atau justru memancing siswa untuk bertanya.kepada guru, kepada siswa lain atau kepada orang lain secara khusus. Dengan bertanya, siswa membuat keterkaitan antara materi yang dipelajari untuk menyelesaikan permasalahan matematika. Seperti yang ditulis Pape, J. Stephen (2004),
the more successful students provided evidence that they translate and organized the given information by rewriting it on paper and they used the context to support their solutions.
 Konsep masyarakat belajar (learning community) menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada komunikasi dua arah, yaitu guru terhadap siswa dan sebaliknya, siswa dengan siswa. Berbagai penelitian memang telah banyak menguji keberhasilan bentuk sharing pengetahuan ini, khususnya pembelajaran teman sebaya.
Pemodelan menurut versi CTL, guru bukan satu-satunya model, melainkan harus memfasilitasi suatu model tentang “bagaimana cara belajar” baik dilakukan oleh siswa maupun oleh guru sendiri.
Refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari dan dilakukan setiap peserta belajar. Guru mengkoreksi dirinya, siswa dikoreksi oleh gurunya. Nilai hakiki dari prinsip ini adalah semangat introspeksi untuk perbaikan pada kegiatan pembelajaran berikutnya.
Penilaian sebenarnya memandang bahwa kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melulu hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanyalah salah satunya. Itulah hakekat penilaian autentik. Memang, selama ini format tes matematika cenderung menekankan pada pengujian produk bukan proses. Hal ini terjadi karena sistem dan aturan yang dikembangkan menuntut untuk melakukan tes hanya produk saja.
Pembelajaran dengan sistem CTL akan membuat siswa : (1) menjadi siswa yang dapat mengatur diri sendiri dan aktif, (2) membangun keterkaitan antara sekolah dengan konteks kehidupan nyata, (3) melakukan pekerjaan yang berarti, (4) menggunakan pemikiran tingkat tinggi yang kreatif dan kritis, (5) bekerja sama, (6) mengembangkan sikap individu, (7) mengenali dan mencapai standar tinggi.
Pengertian belajar dalam konteks CTL meliputi beberapa hal (Wina Sanjaya, 2008 : 260):
a)      Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengkontruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki.
b)      Belajar bukan sekedar mengumpulkan fakta yang lepas-lepas. Pengetahuan pada dasarnya merupakan organisasi dari semua yang dialami, sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki, akan berpengaruh terhadap pola perilaku manusia.
c)      Belajar adalah proses pemecahan masalah, sebab dengan memecahkan masalah anak akan berkembang secara utuh, baik intelektual, mental maupun emosi.
d)     Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang secara bertahap dari sederhana menuju ke kompleks.
e)      Belajar pada hakikatnya adalah menangkap pengetahuan dari kenyataan. Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang memiliki makna untuk kehidupan anak (real world learning).
PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering berhadapan dengan masalah, maka memecahkan masalah merupakan aktivitas sehari-hari bagi manusia. Oleh karenanya, salah satu indikator tercapainya tujuan pembelajaran di sekolah adalah jika siswa dapat memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Pemecahan masalah merupakan salah satu strategi dalam pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, siswa harus dilatih menyelesaikan masalah. Dalam menyelesaikan masalah, siswa perlu memahami proses penyelesaian masalah dan trampil dalam memilih dan mengidentifikasi kondisi dan konsep yang relevan, mencari generalisasi, merumuskan rencana penyelesaian dan mengorganisasikan ketrampilan yang telah dimiliki sebelumnya (Herman Hudoyo, 1988: 113). Conney (1975) dalam Herman Hudoyo (1988: 113) menyatakan bahwa mengajarkan penyelesaian masalah kepada peserta didik memungkinkan peserta didik itu menjadi lebih analitik di dalam mengambil keputusan di dalam hidupnya. Untuk menyelesaikan masalah, seseorang harus menguasai hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya dan kemudian menggunakannya dalam situasi baru.
Kemampuan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari diperoleh melalui kemampuan menyelesaikan soal cerita. Penyelesaian soal cerita dimaksudkan agar siswa tidak hanya mampu mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga sebagai sarana untuk mendorong munculnya sikap positif siswa akan kebermaknaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
            Oleh karenanya, penggunaan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika diawali dengan mengaitkan materi yang akan dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan kontekstual pada pembelajaran matematika SMA/MA dapat diterapkan pada materi Sistem Persamaan Linear dan Kuadrat (SPLK). Materi SPLK ini diberikan pada siswa kelas X (sepuluh) SMA/MA. Dalam pembelajaran SPLK, guru dapat menerapkan pendekatan kontekstual dengan cara mengawali pembelajaran dengan memberikan soal cerita yang berkaitan dengan SPLK. Dengan membuat keterkaitan antara materi SPLK dengan masalah kehidupan sehari-hari, maka siswa akan merasakan kebermanfaatan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, langkah-langkah dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dapat membantu siswa membangun sendiri pemahamannya, sehingga materi yang dipelajari tidak mudah hilang (tidak cepat lupa).
Berikut vidio pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual. Klik disini :D

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

'; (function() { var dsq = document.createElement('script'); dsq.type = 'text/javascript'; dsq.async = true; dsq.src = '//' + disqus_shortname + '.disqus.com/embed.js'; (document.getElementsByTagName('head')[0] || document.getElementsByTagName('body')[0]).appendChild(dsq); })();

- Copyright © All About Math - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -